Pendahuluan
Hak untuk
mendapatkan informasi dan hak untuk bebas berpendapat atau berekspresi (freedom
expression) tidak selalu bebas hambatan. Selalu saja ada konflik
kepentingan (conflict of interest) yang memasung kebebasan tersebut.
Padahal ketika seseorang tidak dapat dengan leluasa menuangkan pikiran baik
lisan maupun tulisan karena hambatan-hambatan tersebut, maka pemikirannya itu
menjadi tidak produktif dan jumud alias tidak berkembang. Bila
hal ini terus menerus terjadi maka peradaban (civilization) juga akan
berhenti.
Hambatan-hambatan
tersebut bisa berupa penolakan (denial) penyebaran pemikiran, pelarangan
(prohibition) dan pemberiaan sanksi (penalties) terhadap hasil
pemikiran manusia yang dituangkan dalam media-media seperti buku, majalah,
surat kabar, dan lain-lain. Dalam isu intellectual freedom,
persoalan ini lebih dikenal dengan istilah sensor.
Jelas sekali bahwa
pasal 19 dari deklarasi hak asasi manusia tersebut menjamin hak
kebebasan berpendapat dan berekspresi yang mencakup kebebasan mempertahankan
pendapat, aliran, faham, dan lain-lain tanpa interferensi. Disamping itu juga
mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan
gagasan melalui media apapun. Negara boleh melakukan sensor ataupun campur
tangan demi kepentingan negara sesuai yang diamanatkan dalam deklarasi hak
asasi manusia sedunia.
Dari realitas di
atas, maka tulisan ringkas ini akan mencoba membahas sekelumit tentang
penerapan sensor di perpustakaan dalam hal ini yaitu kebijakan sensor
perpustakaan dan pengaruh sensor bagi pengembangan koleksi perpustakaan dengan
mengkaji dan menganalisis beberapa kebijakan yang dibuat oleh asosiasi
perpustakaan di dunia, termasuk pula yang dilakukan oleh Ikatan Pustakawan
Indonesia (IPI).
Kebijakan Sensor di Beberapa Asosiasi Perpustakaan di Negara-Negara Maju Dan Negara Berkembang
Perpustakaan merupakan lembaga yang berperan mengumpulkan,
mengelola, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat, sangat bersentuhan langsung
dengan seluk beluk sensor ini. Karena bahan pustaka seperti buku, majalah, dan
surat kabar adalah koleksi yang sering sekali menjadi objek sensor tersebut.
Penerapan sensor dapat menghambat perpustakaan dalam menjalankan tugasnya yakni
mengumpulkan, mengelola, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. Oleh
karena itulah, beberapa perkumpulan atau asosiasi perpustakaan terutama sekali
yang ada di luar negeri telah menyusun beberapa kebijakan atau statement problematika
sensor ini.
Asosiasi perpustakaan yang dijadikan studi kasus di sini adalah
empat asosiasi dari negara maju (IFLA, LIANZA, LA, ALA, dan satu
asosiasi dari negara berkembang (IPI).
1. IFLA (The
International Federation of Library Association And Information)
Pada konferensi IFLA (The Council of The International
Federation of Library Association and Information) ke-25 di Paris tahun
1989, IFLA mengeluarkan resolusi tentang kebebasan berekspresi, sensor, dan
perpustakaan (resolution on freedom of expression, censorship, and libraries).
Resoluisi tersebut memuat tentang:
a.
Pencabutan (recalling)
resolusi yang dikeluarkan di Munich tahun 1983 karena cenderung melanggar HAM
para pustakawan.
b.
Mendorong para
pustakawan dan asosiasi mereka untuk secara global mendukung pelaksanaan Article
19 of the Universal Declaration of Human Rights.[1]
c.
Menginstruksikan kepada
presiden IFLA untuk campur tangan (intervene) menggunakan cara yang
tepat dengan pemerintah yang berwenang mengenai freedom of expression.[2]
2. LIANZA (The Library
and Information Association of New Zealand)
The Library and Information Association of New Zealand (LIANZA) tahun 2002
mengeluarkan pernyataan tentang kebebasan intelektual sebagai berikut:
a.
Masyarakat menciptakan perpustakaan sebagai lembaga untuk
menyimpan dan membuat pengetahuan, informasi, dan gagasan-gagasan tersedia, dan
untuk memfasilitasi belajar dan kreativitas dalam setiap bidang. Setiap
perpustakaan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan para penggunanya dengan
jangkauan seluas mungkin bahan-bahan informasi, relevan bagi kebutuhan
penggunanya dan yang mewakili spektrum sudut pandang pada topik yang sesuai
masyarakat pengguna.
b.
Pustakawan mempunyai
tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemilihan dan ketersediaan bahan-bahan
informasi diatur semata-mata oleh pertimbangan profesional. Pertimbangan
profesional ini termasuk penggunaan pengetahuan, keterampilan, manajemen
koleksi pengalaman, dan kebijakan pengembangan koleksi untuk membuat keputusan
tentang bahan pustaka apa yang akan dipilih untuk koleksi perpustakaan.
c.
Tidak ada
sumber-sumber informasi harus dikecualikan dari perpustakaan karena
mengungkapkan pendapat mereka; juga bukan karena siapa pengarang; atau atas
dasar kedudukan politik, sosial, moral atau tampilan lain dari penulis.
d.
Tidak ada bahan
pustaka harus disensor, terbatas, disingkirkan dari perpustakaan, atau memiliki
akses kepada mereka ditolak karena partisan atau doktrinal ketidaksetujuan atau
tekanan. Hal ini termasuk akses ke sumber daya informasi berbasis web.
a.
Pustakawan harus
melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor diperlukan oleh hukum.
Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk
melobi, pencabutan undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang
ditetapkan dalam pernyataan ini.[3]
3. LA (The Library
Association)
The Library Association di Inggris juga
telah mengeluarkan pernyataan serupa pada tahun 1963 dan telah mengalami 3 kali
revisi yaitu pada 1978, 1989, dan 1997. pernyataan tersebut diantaranya memuat
tentang:
b.
The Library
Association sangat mendukung dan sangat memperhatikan tentang kekebasan
seluas mungkin dalam penyebaran informasi (dissemination of information).
Karena menurut asosiasi ini, masyarakat yang maju dan demokratis hanya dapat
dibangun apabila masyarakat itu mempunyai hak untuk mengakses semua ungkapan
pengetahuan (expression of knowledge), kreatifitas (creativity),
dan kegiatan ilmiah (intellectual activity). Kebebasan intelektual dan
kebebasan berekspresi.
c.
Bahan pustaka
perpustakaan tidak boleh dibatasi kecuali bila dikehendaki oleh hukum. Namun
demikian, dasar hukumnya harus jelas. Jika bahan pustaka tidak terkait sanksi
hukum, maka bahan pustaka tersebut tidak boleh dikeluarkan dengan alasan moral,
politik, agama, ras, atau gender untuk memenuhi tuntutan sekelompok kecil
masyarakat.
d.
Pustakawan, dengan
kode etik mereka, harus menentang tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap
koleksi perpustakaan.
e.
LA menekankan kepada
seluruh staf perpustakaan untuk memegang teguh prinsip akses informasi bebas (uninhibited
access to information).[4]
4. ALA (American
library Association)
The American library association (ALA) menuangkan
pernyataan tentang kebebasan intelektual dengan rinci di dalam Library
Bill of Rights, di antaranya memuat tentang:
a.
Bahan pustaka
di perpustakaan Amerika bebas diakses oleh siapa saja dan menentang segala
sensor.
b.
Bahan pustaka yang
sudah melalui proses seleksi tidak boleh dikeluarkan atau dipindahkan dari
perpustakaan meskipun untuk kepentingan hukum (legal or extra legal pressure)
c.
Penghilangan
bagian-bagian buku atau bahan pustaka lainnya oleh perpustkaan, agen
perpustakaan, atau badan induk merupakan bentuk pelanggaran (violation) Library
Bill of Rights karena penghilangan tersebut menghalangi akses
keseluruhan karya.
d.
Usaha-usaha untuk
membatasi koleksi perpustakaan melanggar prinsip-prinsip dasar Library
Bill of Rights.
e.
Pustakawan secara
professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus
menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.
f.
ALA sangat menentang
intimidasi yang dilakukan pemerintah (governmental intimidation)
terhadap warga atau penduduk dalam hal free expression.[5]
5. IPI (Ikatan
Pustakawan Indonesia)
Sementara itu, Ikatan Pustakawan Indonesia, juga
menuangkan pernyataan tentang akses informasi dan kebebasan Intelektual yang
tertuang dalam Kode Etik Pustakawan. Yang menyatakan bahwa:
“Di alam keterbukaan informasi, perlu ada kebebasan intelektual dan
memperluas akses informasi bagi kepentingan masyarakat luas. Pustakawan ikut
melaksanakan kelancaran arus informasi dan pemikiran yang bertanggung jawab
bagi keperluan generasi sekarang dan yang akan datang. Pustakawan berperan
aktif melakukan tugas sebagai pembawa perubahan dan meningkatkan kecerdasan
masyarakat untuk mengantisipasi perkembangan dan perubahan di masa depan”[6].
Prinsip yang tertuang dalam Kode Etik ini merupakan kaidah umum
Pustakawan Indonesia. Kewajiban pustakawan dalam mengawal akses informasi dan
kebebasan intelektual tertuang pada Bab 1, kewajiban pustakawan diurai dalam 5
subbab, yaitu kewajiban kepada bangsa dan negara, kewajiban kepada masyarakat
dan kewajiban kepada profesi, kewajiban kepada rekan sejawat, dan kewajiban
kepada pribadi.
Keperpihakan IPI terhadap akses informasi dan kebebasan intelektual
ini dijelaskan secara detail pada kewajiban profesi yaitu:
a.
Pustakawan
melaksanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia
dan Kode Etik Pustakawan Indonesia.
b.
Pustakawan memegang
prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber
bahan perpustakaan dan informasi.
c.
Pustakawan menyadari
dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan
dan informasi.
Kata “menjauhkan diri dari sensor” bermakna bahwa pustakawan pada
kondisi tertentu bisa melakukan sensor terhadap segala bentuk informasi (film,
buku, dll) karena demi hukum yang berlaku.
Dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan lima asosiasi
perpustakaan di atas, jelas sekali bahwa asosiasi perpustakaan tersebut
mempunyai asumsi yang sama bahwa:
a.
Penerapan sensor
terhadap pengembangan koleksi perpustakaan akan menghambat kebebasan
intelektual seseorang dan melanggar hak asasi manusia.
b.
Masyarakat yang maju
dan beradab hanya dapat dibangun di atas fondasi kebebasan akses terhadap semua
informasi termasuk informasi yang dimiliki oleh perpustakaan.
c.
Perpustakaan berhak
untuk tidak membatasi, memindahkan, dan mengeluarkan bahan pustaka yang telah
diseleksi dari perpustakaan.
d.
Pustakawan secara
professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus
menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.
e.
Perpustakaan harus
melawan semua bentuk sensor, namun sensor bisa dilakukan karena alasan demi
hukum.
Pengaruh Sensor Terhadap pengembangan Koleksi Perpustakaan
Pengaruh sensor terhadap perpustakaan di negara-negara maju
berdasarkan beberapa pernyataan di atas tidak begitu menonjol karena selain
perpustakaan telah mempunyai kebijakan yang jelas tentang sensor juga
iklim demokrasi yang sangat mendukung. Sebagaimana yang diungkapan narasumber
dalam seminar internasional tentang “Libraries Before and After Reunification“
di Perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bahwa sensor sangat
diberlakukan di perpustakaan-perpustakan di Jerman Timur yang berfaham negara
sosialis, sensor menjadi senjata utama untuk menjernihkan dan membebaskan
masyarakatnya dari pengaruh luar. Sebaliknya, perpustakaan-perpustakaan di
Jerman barat yang berfaham negara kapitalis, perpustakaan tidak memberlakukan
sensor dan juga negara tidak mengintervensi kegiatan perpustakaan. Lalu setelah
reunifikasi kedua negara ini, maka sensorpun tetap tidak diberlakukan lagi
diperpustakaan.[7]
Iklim demokrasi di suatu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebebasan berekspresi dan kebebasan intelektual sangat menentukan
diberlakukannya sensor. Sensor di negara yang tidak mengenal demokrasi, sensor
menjadi alat penguasa yang diktator, penguasa yang tidak mengenal demokrasi.
Di Indonesia, sensor menjadi alat penguasa, terutama pada masa orde
lama dan orde baru. Pada masa tersebut perpustakaan tidak dapat menentukan
kebijakan-kebijakan koleksi sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
Perpustakaan tidak berhak untuk menyimpan bahan pustaka yang telah dilarang
oleh pemerintah kecuali Perpustakaan Nasional dan perpustakaan Kejaksaan Agung.
Perpustakaan Nasional selain berhak menyimpan buku-buku terlarang juga berhak
mensirkulasikan buku-buku tersebut melalui sistem lisensi. Pengecualian ini adalah
berdasarkan UU No.4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam
serta peraturan pemerintah Nomor 70 tahun 1991 pasal 17, yang menyebutkan bahwa
karya cetak dan karya rekam yang terlarang hanya dapat dimanfatkan untuk
kepentingan tertentu setelah mendapatkan ijin dari kepala perpustakaan
Nasional.[8] Juga
berlaku pada karaya rekam dalam bentuk film, dokumenter, Karya rekam film
ceritera atau film dokumenter yang karena sifatnya dilarang Pemerintah.[9] Sedangkan
Perpustakaan Kejaksaan Agung memang memiliki keistimewaaan karena perpustakaan
tersebut bagian dari Kejaksaan Agung yang melakukan pelarangan buku. Pelarangan
ini akan sangat berpengaruh pada pengembangan koleksi di semua jenis
perpustakaan.
Di antara pengaruh sensor terhadap pengembangan koleksi adalah:
a.
Mempengaruhi jumlah
koleksi perpustakaan, dan layanannya. Jumlah koleksi akan berkurang jika
sebagian koleksi berupa buku-buku terlarang yang harus diserahkan kepada
pemerintah. Keadaan ini tidak akan terjadi jika perpustakaan mempunyai wewenang
untuk menyimpan sendiri buku-buku terlarang yang dimilikinya meskipun tanpa
mensirkulasikan kepada masyarakat pemakai.
b.
Penyerahan buku
tersebut akan menyebabkan perpustakaan kesulitan memperoleh kembali buku
tersebut.
c.
Bagi Perpustakaan
Perguruan Tinggi, pelarangan ini akan bertentangan dengan konsep semangat
kebebasan akademik yang menolak intervensi dari pihak luar.
1. Sensor versus
Seleksi
Pengembangan koleksi
identik dengan pembelian bahan pustaka. Salah satu kendala tidak terpenuhinya
pembelian buku karena adanya sensor dari pemerintah. Maka akibat nyata larangan
ini adalah kebutuhan bahan pustaka tertentu tidak terpenuhi. Sebab lain, adalah
faktor dari internal perpustakaan. perpustakaan tidak mungkin membeli semua
kebutuhan koleksi perpustakaan karena keterbatasan perpustkaan itu sendiri,
baik keterbatasan fisik (gedung) untuk menampung bahan pustaka, juga
keterbatasan lain, karena faktor minimnya alokasi anggaran perpustakaan.
Keterbatasan-keterbatasan
perpustakaan ini kemudian muncul perlunya kebijakan dalam pengembangan koleksi.
Inti dari kebijakan koleksi ini adalah memberikan prioritas-prioritas bahan
pustaka apa yang perlu dibeli dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan
oleh perpustakaan. Kegiatan ini dalam pengembangan koleksi disebut kegiatan
seleksi.
Kegiatan seleksi
pada pengembangan koleksi, sebagian pustakawan mengatakan bahwa perpustakaan
sebenarnya telah melakukan sensor. sebaliknya pustakawan yang tidak setuju
telah memberikan definisi tentang batasan sensor dan seleksi. Bahwa sepanjang
seleksi itu murni karena faktor internal, maka bukan sensor. Sensor itu sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu pemerintah ataupun seseorang yang
memiliki pengaruh sangat kuat di dalam kegiatan proses pengembangan koleksi.[10] perbedaan
nyata antara sensor dan seleksi, kegiatan sensor karena adanya intervensi dari
luar. Sebaliknya kegiatan seleksi murni ketidak berdayaan perpustakaan untuk
membelinya karena keterbatasan-keterbatasan perpustakaan itu sendiri.
2. Peran Pustakawan
Di bawah
ini uraian singkat tentang peran pustakawan sebagai profesional informasi,
atau knowledge worker berdasarkan dari lima asosiasi
perpustakaan di atas, adalah:
a.
Pustakawan mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa
pemilihan dan ketersediaan bahan-bahan
informasi diatur semata-mata oleh pertimbangan profesional. Pertimbangan
profesional ini termasuk penggunaan pengetahuan, keterampilan, manajemen
koleksi pengalaman, dan kebijakan pengembangan.
b.
Pustakawan mendukung pelaksanaan Article 19 of the
Universal Declaration of Human Rights.
c.
Pustakawan harus melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor
diperlukan oleh hukum. Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk melobi,
pencabutan undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang sesuai
dengan kode etik perpustakaan.
d.
Pustakawan, dengan kode etik mereka, harus menentang
tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap koleksi perpustakaan.
e.
Pustakawan
secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh
semua pengguna.
f.
Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan
diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.
g.
Pustakawan
menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi.
Kesimpulan
Sensor merupakan isu
yang masih hangat dan selalu actual dari masa ke masa. Karena sensor merupakan
suatu kebijakan yang menyangkut hak kebebasan seseorang untuk berekspresi dan
mengemukaan pendapat. Sensor telah megalami evolusi atau perubahan dari masa ke
masa, terutama dari sisi bentuk dan manifestasinya.
Sementara kebebasan
berekspresi untuk mengemukaan pendapat, dan kebebasan untuk menyebarkan
dan mencari informasi termasuk salah satu hak asasi manusia. Keterbukaan
informasi dan akses informasi kepada masyarakat adalah suatu kondisi untuk
memungkinkan demokrasi itu berfungsi. Keterbukaan informasi ini sulit
diharapkan berkembang di lingkungan masyarakat non demokratis. Keterbukaan
informasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan proses demokratisasi.
Realitas sensor ini
juga berdampak pada kegiatan pengembangan koleksi perpustakaan. Dalam
menjalankan tugasnya, pustakawan dalam hal membuat kebijakan pengembangan
koleksi diperhadapkan dengan dua hal. Satu sisi, ketika negara menerapkan
kebijakan sensor terhadap informasi atau dokumen tertentu, di sisi lain,
pustakawan berkewajiban untuk memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada
penggunanya. Oleh karena itu, menurut penulis, dalam batas-batas tertentu
sensor perlu dilakukan sebagai alasan demi kepentingan yang lebih besar yaitu
kepentingan masyarakat umum dan kepentingan negara.
Dari
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan lima asosiasi perpustakaan di atas,
jelas sekali bahwa asosiasi perpustakaan tersebut mempunyai asumsi yang sama
bahwa penerapan sensor terhadap pengembangan koleksi perpustakaan akan
menghambat kebebasan intelektual seseorang dan melanggar hak asasi manusia.
Masyarakat yang maju dan beradab hanya dapat dibangun di atas fondasi kebebasan
akses terhadap semua informasi termasuk informasi yang dimiliki oleh
perpustakaan. Perpustakaan berhak untuk tidak membatasi, memindahkan, dan
mengeluarkan bahan pustaka yang telah diseleksi dari perpustakaan. Pustakawan
secara professional bertanggung jawab dalam pengembangan koleksi. Pustakawan
harus menjamin bahwa bahan pustaka dapat diakses oleh semua pengguna.
Perpustakaan harus melawan semua bentuk sensor, namun sensor bisa dilakukan
karena alasan demi hukum.
Sensor mempengaruhi
jumlah koleksi perpustakaan, dan layanannya. Jumlah koleksi akan berkurang jika
sebagian koleksi berupa buku-buku terlarang yang harus diserahkan kepada
pemerintah. Keadaan ini tidak akan terjadi jika perpustakaan mempunyai wewenang
untuk menyimpan sendiri buku-buku terlarang yang dimilikinya meskipun tanpa mensirkulasikan
kepada masyarakat pemakai. Penyerahan buku tersebut akan menyebabkan
perpustakaan kesulitan memperoleh kembali buku tersebut. Bagi Perpustakaan
Perguruan Tinggi, pelarangan ini akan bertentangan dengan konsep semangat
kebebasan akademik yang menolak intervensi
dari pihak luar.
Di
era keterbukaan sekarang ini, perpustakaan di Indonesia sudah memiliki ruang
gerak yang lebih leluasa dalam menentukan kebijakan koleksi sendiri sehingga
kebebasan intelektual dan kebebasan berekspresi akan dapat terlaksana. Namun
sensor dapat dilakukan untuk menghormati hak dan reputasi pihak lain,
menjaga keutuhan bangsa dan negara, memelihara tatanan sosial, moral dan
kesehatan masyarakat Sensor harus didasarkan pada hukum dan proses hukum yang
adil.
Akhirnya, peran
pustakawan sebagai profesional informasi harus mendukung pelaksanaan Article 19 of the Universal
Declaration of Human Rights. Pustakawan harus melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor diperlukan
oleh hukum. Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk melobi, pencabutan
undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kode
etik perpustakaan. Pustakawan, dengan kode etik mereka, harus menentang
tekanan-tekanan yang membatasi akses terhadap koleksi perpustakaan. Pustakawan
harus memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada pengguna. sekarang
muncul pertanyaan yang perlu dijawab. Mampukan perpustakaan menjadi sumber
informasi yang mampu memberikan akses informasi kepada penguna seluas-luasnya?.
Mampukah perpustakaan benar-benar terbebas dari sensor?. Wallahu a’lam
bi shawab.
Catatan:
[1] Article 19 of
the Universal Declaration of Human Rights (1948) menyebutkan bahwa : “Everyone
has the right to freedom of opinion and expression: includes freedom to hold
opinions without interference and to seek, receive and impart information and
ideas through any media and regardless of frontiers”.
[2] Resolution on
freedon of expression, censorship and libraries. IFLA/FAIFE. 16 Des 2009.
<http://archive.ifla.org/faife/policy/paris_e.htm>
[3]LIANZA.Statement and
Intellectual fredom. <http://www.lianza.org.nz/about/governance/statements/intellectual-freedom.html>
[4] “Campaign
Against Censorship in UK Public Libraries: defending Intellectual freedom for
all” Tke Library Association, 1998.
[5] Intellectual
Freedom Handbook. 5th Ed. the American Library
Association. 16 Des
2009.<http://www.txla.org/pubs/ifhbk.html#ALA-LBR>
[7] Seminar
internasional tentang”Libraries Before and After Reunification” pada tanggal 10
Desember 2009 di Perpustakaan Fakultas Ekonomi Univrsitas Indonesia.
[8]Pasal 17, Peraturan
Pemerintah Nomor: 70 TAHUN 1991 Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1990 Tentang Serah-Simpan Karya Cetak Dan Karya-Rekam
[9] Pasal
31, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Pelaksanaan Serah-Simpan Dan Pengelolaan Karya Rekam Film Ceritera Atau Film
Dokumenter
[10] Selection
Versus Censorship in Libraries. 16 Des 2009.
<http://www.informaworld.com/smpp/content~db=all~content=a902694242>